Disini aku mau cerita jujur sejujur-sejujurnya tentang apa
yang pernah aku lakukan yang bagi sebagian orang adalah kesalahan.
Meninggalkan orang yang bertahun-tahun menemaniku,
menyayangiku, mencintaiku.
Jujur, aku pernah sangat mencintainya. Tapi itu dulu.
Sampai titik dimana aku merasa sangat jenuh.
Pada titik jenuh itulah aku mulai berpikir tentang apa yang
aku jalani waktu itu dan bagaimana kita ke depannya.
Pada awalnya aku sangat optimis dengan apa yang aku jalani. Lalu
lambat laun semuanya berubah. Aku tak tahu siapa yang berubah. Mungkin aku.
Ya, pemikiranku berubah. Menjadi lebih realistis. Tapi itulah
yang terjadi padaku.
Bodohnya aku tak membicarakan semuanya dengan pasanganku,
hanya ku simpan dan aku pikirkan seorang diri.
Berulang kali aku mencoba untuk menjalin hubungan dengan
orang lain di dalam hubunganku dengan dia yang belum benar-benar berakhir.
Disini aku yang salah. Aku akui itu.
Setiap aku merasa cocok dengan laki-laki lain dan ‘dia’ juga
merasa demikian, perlahan aku yang mundur teratur. Tahu kenapa? Karena aku tak
yakin mereka mau menerima kekuranganku yang belum mereka ketahui. Ya, aku
minder dengan diriku sendiri.
Hatiku kosong, aku menyadari bahwa perasaanku mulai
menghilang. Akupun tak tahu mengapa ini bisa terjadi.
Bukankah aku dulu begitu menggebu-gebu mencintainya? Tapi semua seakan terkikis sedikit demi
sedikit. Aku tak berani mengakuinya karena takut menyakiti hatinya. Aku pikir
lagi, berulang kali namun tetap tak sampai hati aku mengatakannya.
3 tahun kita melalui semuanya bersama-sama. Banyak hal yang
kita lewati dan rasakan bersama. 3tahun itu pula yang membuatku berpikir
berulang kali untuk mengakhiri hubungan ini.
Kemudian aku tersadar bahwa pacaran itu bukan perkara
kuantitas, tapi kualitas. Tak peduli seberapa lama kita menjalin hubungan ini,
namun apabila memang tak ada lagi cinta lalu untuk apa kita berjuang?
Hari berganti hari, aku berusaha menjalani semua senormal
mungkin. Sampai pada hari aku bertemu dengan seseorang yang tak pernah aku
sangka akan mampu membuyarkan semua usahaku untuk menjalani hidupku yang ku
usahakan menjadi ‘normal’ itu.
Pria baik yang dekat dengan Tuhannya.
Pria cerdas dengan kemampuan bersosialisasi serta penempatan
diri yang amat baik.
Pria yang murah senyum, berkepribadian tenang dan penyabar.
Seorang pria yang mampu menghangatkan suasana, seorang pria
yang mampu menbuat suasana yang beku sekalipun menjadi begitu cair.
Seorang yang mau menerimaku tanpa mempermasalahkan masa
laluku yang kelam.
Pria yang memperbolehkan diriku menjadi diri seutuhnya, yang
memberikan tanggung jawab penuh untuk berbuat semauku, yang justru membuatku
justru menjaga amanatnya untuk tidak kelewat batas.
Pria yang mampu menggetarkan kembali hatiku yang sempat
kaku.
Menghidupkan kembali perasaanku yang sempat mati suri.
Adakah yang salah tentang hati yang mencinta? Kurasa tidak.
Hanya saja cara yang aku lakukan adalah salah.
Mungkin cinta ini yang tumbuh di waktu yang salah?
Atau pria itu datang disaat yang salah, atau mungkin waktu
yang benar-benar tepat?
Entahlah.
Aku mencoba jujur dengan diriku
sendiri, kepada siapa hatiku berlabuh. Sampai pada akhirnya aku harus memilih
untuk meninggalkan dia yang telah menemaniku selama ini.
Aku perempuan jahat. Aku menghancurkan
perasaan orang yang benar-benar tulus mencintaiku. Tapi aku tak mau lebih
menyakitinya dengan menjalani hubungan dalam kepura-puraan.
Aku harus jujur dengan dia, dengan semesta.
Maafkan atas segala luka yang pernah aku berikan.
Aku sungguh minta maaf.
Silvi.